oleh

Katanya Gak Ada Anggaran, Kok Bisa Makan Minum Sampai Miliaran?

 Subang Korupsi

CATATAN REDAKSI PERAKNEW.COM Lantai itu kotor, berdebu, dilalui oleh langkah-langkah pejalan kaki dan suara-suara kendaraan bergantian meramaikan telinga. Ditambah dengan udara dingin Bandung, lengkaplah perjuangan Dendi dan keluarga untuk mendapatkan ruangan di RS Hasan Sadikin, Bandung.
Sebagai pasien prioritas, tak ada jaminan untuk Dendi mendapatkan ruangan, padahal ‘julukan’ prioritas itu didapat dari dokter, jadi (mungkin) yang tepat adalah Dendi sebagai pasien BPJS kelas 3 tidak mendapat prioritas.

 

Untuk dokter, Dendi adalah pasien, tapi bagi Admission Centre RSHS, Dendi hanyalah seorang konsumen.
Admission centre sebagai pusat kontrol penentu ruangan, tidak bisa menjamin ruangan untuk Dendi, karena pasien yang meninggalkan ruangan untuk operasi bisa saja akan kembali, itu semua tergantung dari hasil operasi. Tentu saja, siapa yang bisa menjamin sehat dan mati seseorang? Kemampuan manusia hanyalah mencegah dan kalau itu saja tidak mampu, maka kemampuannya sebagai manusia bisa dipertanyakan. Betul tidak?

 

Yang menjadi masalah adalah, kemana pasien ini menginap jika ruangan itu tidak pasti? Jawabannya adalah Rumah Singgah dan lokasinya bertebaran di sekitar RSHS, harganya bervariasi mulai dari Rp100 ribu s/d Rp300 ribu untuk sehari saja.

 

Murah atau standar? Untuk keuangan yang terbatas seperti Dendi, murah atau standar tidaklah berlaku, baginya uang adalah kebutuhan, bukan keinginan seperti pejabat ataupun pengusaha Tokma Ilegal tunjukkan. Bagi mereka uang adalah keinginan. Ingin mendapat tambahan meskipun gaji dan tunjangan sudah mencukupi, ingin memperlebar sayap, ingin menambah kekayaan, ingin nambah istri dan ingin, ingin lainnya.

 

Karena kebutuhan, uang sewa ruangan seperti itu bisa dialihkan ke hal yang lain, seperti makanan dan cadangan darurat yang lainnya. Kebutuhan papan untuk Dendi tidaklah dianggap perlu karena mereka terbiasa dengan kondisi rumah di kampung, tapi kebutuhan perutlah yang utama. Akan tetapi, kembali lagi ke tulisan diatas, siapa yang bisa menjamin sehat dan mati seseorang? Kemampuan manusia hanyalah mencegah. Dialog di bawah menyadarkan saya.

 

“Kalau mau berita, nongkrongnya di Onko bang,” saran seorang pendamping yang berdomisili di Bandung. Saya bertanya heran lalu jawabannya berhasil mengejutkan saya, “Kemarin ada yang mati karena gak dapat ruangan.”

 

Setelah jawaban itu, meski istilah ‘mati’ sangat mengganggu telinga, sontak pandangan saya mengarah ke Dendi dan keluarganya yang mengambil posisi agak jauh dari pembicaraan kami. Kasihan, iba, was was, semua bercampur menjadi satu.

 

Kemampuan Dendi sebagai manusia sangat terbatas, karena itulah mereka memakai fasilitas ambulans gratis dari TEPG (Tim Evakuasi Pasien Gakin) FMP daripada harus membayar sopir dan bensin kepada ambulans Desa. Pada titik ini, TEPG FMP sudah bisa mencegah kelelahan Dendi dan keluarga jika mereka naik angkutan umum. Ditambah dengan pandangan yang kurang sedap bila melihat benjolan besar di leher Dendi. Jadi, untuk mencegah Dendi dan keluarga dari dinginnya malam kota Bandung, TEPG FMP tidak mampu. Bagaimana dengan Pemerintah Subang? Bisakah mereka mencegah?

 

“Tidak ada anggaran,” jawab Pepen, Wakil Ketua TEPG FMP. Ok, Baiklah. Setelah mengantar Dendi ke ‘penginapannya’, Ambulans pun balik arah membelah kota Bandung, Lembang, Ciater dah akhirnya sampai ke Subang, Graha Pena Media Perak.

 

Setelah bersih-bersih, saya pun mengecek email dan memeriksa berita yang masuk dari para wartawan. Satu berita yang menohok dan menghujam rasa kemanusiaan kita bersama yaitu berita Rp2,1 Miliar untuk mamin (makan minum) Pemkab Subang. Artinya dari jumlah tersebut, Pemkab Subang harus mengeluarkan setidaknya Rp7 hingga Rp8 juta per-hari untuk Mamin Rapat dan tamu. Alamaak.

 

Dalih perdebatannya bisa saja soal tahun anggaran dan klausul rumah singgah belum masuk ke anggaran. Tapi apa Dendi dan yang lainnya mau mengerti itu? Itukan konsumsi pengamat, wartawan dan akademisi saja? Rakyat? Saya pastikan mereka tidak mau tahu hal itu. Meskipun mereka diberitahu, saya pastikan juga sekali lagi bahwa mereka tidak mengerti.

 

Pemerintah adalah manusia yang terpilih dari rakyat seperti Dendi-dendi itu, pejabat adalah manusia diatas rata-rata dari manusia lainnya. Mereka bertitel, terpandang, di tangan, otak dan pundak mereka permasalahan itu dipecahkan. Manusia yang terpilih. Bupati dipilih oleh rakyat dan selanjutnya dia memilih pembantunya. Dendi tahu hal itu.

 

Kebutuhan rumah singgah adalah hal yang urgen dan darurat untuk segera pemerintah realisasikan. Jika para pejabat masih berargumen tentang anggaran maka lepaskan jabatan itu, lepas sekat-sekat yang membentengi antara Dendi dengan Imas (Bupati Subang) atau Beni (Ketua DPRD) atau pejabat-pejabat kaya lainnya. Lepaskan jabatan itu, jika tidak mampu menjadi manusia yang terpilih, tidak mampu menggunakan potensi kekuasaan dan otak yang berlebih, jadilah manusia normal kembali, sesama ciptaan Tuhan YME bukan ciptaan kampus, ormas, LSM atau bentukan Partai A B C D. Mari kita bergotong royong, membantu Dendi dan Dendi Dendi berikutnya.

 

Atau sebaiknya, kita datangi saat mereka makan dan minum lalu bentangkan foto penginapan Dendi dan keluarga, biar para pejabat dan tamu-tamu kaya itu memuntahkan kembali isi perut mereka. Setidaknya, itu adalah usaha terakhir kita membersihkan kesenangan mereka diatas penderitaan masyarakat.

(Rendra K Harahap)

Rendra K Harahap

 

Berita Lainnya