oleh

Imbauan Wiranto Gak Ngaruh, KPK Pastikan Lanjut Proses Hukum Paslon Korupsi

JAKARTA, (PERAKNEW).- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap akan memproses hukum calon kepala daerah yang terbukti melakukan korupsi, meski pemerintah mengimbau agar KPK menunda proses hukum tersebut.

Menyikapi hal itu, KPK berbalik mengimbau pemerintah untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk mengganti kepala daerah yang menjadi tersangka.

Seperti dipaparkan Ketua KPK, Agus Rahardjo, Rabu (14/3/18) mengimbau pemerintah mengeluarkan peraturan pengganti undang-undang (perppu) agar calon kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi bisa diganti daripada meminta lembaganya untuk menunda penetapan tersangka.

Dalam Undang-undang Pilkada dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dinyatakan, bahwa partai politik atau gabungan partai politik yang telah mendaftarkan diri sebagai peserta pemilu tidak dapat menarik bakal calonnya sejak pendaftaran. Selain itu, partai yang telah mendukung salah satu calon tidak dapat mengajukan bakal calon pengganti.

Ia memastikan, lembaganya akan tetap memproses hukum tersangka kasus korupsi tanpa terkecuali. bahkan komisi antirasuah yang dipimpinnya sudah menetapkan satu lagi kepala daerah sebagai tersangka dan akan diumumkan pada pekan ini.

Penyelidikan terhadap yang bersangkutan sudah berlangsung lama dan sudah diekspos di KPK untuk dijadikan tersangka, “Dan kenapa kita belum umumkan, karena ada proses pembuatan sprindik untuk kemudian diumumkan. Yang satu tadi malam sudah saya tandatangani. Oleh karena itu, menurut saya supaya partai tidak dirugikan ada baiknya presiden bisa mengeluarkan semacam perppu. Jadi, bagi calon yang disangkakan, partai bisa mengganti supaya rakyat juga dapat calon yang terbaik,” papar Agus.

Pernyataan keras tersebut muncul lantaran ada imbauan dari Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Mekopolhukam), Wiranto kepada KPK untuk menghentikan sementara pemeriksaan calon kepala daerah sebagai saksi maupun tersangka dalam tahap penyelidikan, bahkan penyidikan menuai kontroversi. Wiranto menilai proses hukum tersebut dapat berdampak negatif pada proses pilkada.

“Itu bukan imbauan pribadi, tapi produk rapat koordinasi. Saya undang KPU, Bawaslu, DKPP, Kapolri‎, Panglima TNI, Menkum HAM, Mendagri,” kata Wiranto di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (15/3/18).

Wiranto menjelaskan, rapat koordinasi tersebut membahas perencanaan yang kuat untuk mengamankan pelaksanaan pilkada serentak, pemilu legislatif, dan eksekutif‎, berjalan kondusif, “Bagaimana sekarang kalau dalam pendaftaran calon sudah ditetapkan, sampai pelaksanaan pencoblosan ada pasangan calon yang kemudian ditangkap, karena terlibat tindak pidana korupsi. Kalau ditangkap calonnya dua, ditangkap satu berarti pemilu sudah jalan, bagaimana kita perbaiki surat suara? Ini dari segi teknis ya, tapi nanti gimana saat pencoblosan paslon ditangkap tinggal satu paslon lagi? Berarti proses itu enggak jalan, bisa muncul kegaduhan, bisa muncul tuduhan nuansa politik untuk KPK,” beber Wiranto.

Pernyataan Wiranto disepakati oleh Kejaksaan Agung dan kepolisian sepakat untuk menunda proses hukum pada calon kepala daerah hingga tahapan pilkada selesai. Ini dilakukan agar pilkada serentak yang akan dilakukan dapat berjalan kondusif. Jaksa Agung M. Prasetyo juga meminta agar sikap lembaganya dan kepolisian itu tidak dijadikan polemik.

“Kalau Kejaksaan dan Polri, selama proses berlangsungnya tahapan pilkada itu untuk sementara tidak akan menangani kasus berkaitan dengan pasangan calon itu. Jadi, kita tidak perlu berbicara panjang lebar mengenai itu, nanti justru akan menimbulkan permasalahan baru yang tentunya akan mengganggu proses penyelenggaraan proses demokrasi,” katanya.

Nyatanya, polemic tersebut mengundang Mantan Ketua KPKAbraham Samad angkat bicara, ia menilai, bahwa jika lembaga anti-rasuah menunda penetapan tersangka calon kepala daerah, yang terindikasi melakukan korupsi, itu terlalu berisiko, “Kalau prosesnya sudah berjalan, lantas karena ada pilkada ditunda, maka yang terjadi calon tersangka dapat menghilangkan barang bukti. Itu dampak yang paling berbahaya,” ujarnya dalam diskusi di kawasan Cikini, Jakarta, Sabtu (17/3/2018).

Masih menurut Samad, jika barang bukti penetapan tersangka hilang, maka proses hukumnya akan jalan di tempat dan akhirnya tidak menghasilkan keputusan yang maksimal oleh penegak hokum, “Kalau diadakan penundaan, lantas nanti dilanjutkan setelah ada hasil dan dilakukan setelah pilkada, maka juga ada konsekuensinya yang lebih buruk terhadap kepercayaan di daerah,” terangnya.

“Coba bayangkan, misalnya dilakukan penundaan, terus kemudian calon (tersangka) terpilih, kira-kira kita bisa bayangkan, negara apa ini namanya? Saya pikir tidak ada negara di dunia yang begini, ini merusak peradaban,” tambahnya.

“Ini bahaya menurut saya, karena ada money politic, kenapa pernyataan Pak Wiranto (Menko Polhukam) harus ditolak? Karena membawa dampak yang lebih buruk dan mencederai proses demokrasi yang sedang berjalan,” tandas Samad menceritakan saat dirinya masih jadi Ketua KPK.

Lebih jauh Samad membeberkan, bahwa banyak kasus korupsi oleh kepala daerah dan kader partai politik, karena tidak diaturnya kode etiknya. Tak ada standar perilaku yang harus dipatuhi oleh politisi partai, “Parpol di Indonesia tidak punya akuntabilitas pengelolaan keuangan partai. Maka, yang terjadi sekarang calon kepala daerah bermasalah dicalonkan,” bebernya.

Lanjutnya, jika partai politik punya kode etik, maka bisa lebih ketat menyaring calon kepala daerah yang akan diusung. Apalagi, mahar politik seolah bukan lagi hal yang tabu, “Jadi pengurus partai seenaknya saja melakukan penarikan uang,” buka Samad.

Sementara itu, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Ade Irawan sepakat dengan KPK, Ade menilai pernyataan Wiranto itu berlawanan dengan upaya menjadikan proses demokrasi (pilkada) sebagai mekanisme menciptakan pemerintahan bersih, karena sebenarnya pilkada menjadi ajang bagi masyarakat untuk memilih pemimpin mereka untuk 5 tahun yang akan datang. (Red)

 

Berita Lainnya