PANTURA-SUBANG, (PERAKNEW).- Meninjau lokasi air Saluran Sungai Irigasi (SSI) di Kecamatan Patokbeusi, Kabupaten Subang yang diduga dicemari limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) dan mengambil sample air irigasi itu, untuk diuji laboratorium, agar diketahui kandungan yang ada pada air tersebut.
Demikian diungkapkan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (Kadis LH) Subang, Yayat Sudaryat uasi melakukan pengecekan air limbah di lokasi dimaksud, Selasa (31/7/18).
“Kami sudah mengambil sampel air yang dicemari limbah tersebut, untuk dilakukan uji ke laboraorium di provinsi. Untuk penutupan pabrik yang ada Purwakarta, Karawang dan bekasi yang diduga pelaku pencemaran limbah ini, bukan kewenangan kami. Namun harus koordinasi dulu dengan pemerintah terkait di tiga daerah itu dan mengundang Dinas LH-nya,” tuturnya.
Seperti telah diberitakan Perak edisi 190, bahwa limbah diduga B3 berbentuk cair cemari lingkungan, mulai dari SSI Cilamaya hingga ke SSI Desa Tanjungrasa Kidul, Kec. Patokbeusi, Kab. Subang dan sekitarnya.
Dampak dari pencemaran limbah B3 itu, sungai menjadi keruh berwarna hitam dan makhluk hidup seperti ikan dan lainnya yang ada di sungai, mengalami keracunan, bahkan banyak mengalami kematian.
Tidak hanya itu, juga menimbulkan bau yang tak sedap, hingga mengakibatkan seluruh warga lingkungan setempat mengeluhkan mual-mual, serta menderita penyakit gatal-gatal, ketika bersentuhan dengan air sungai tersebut.
Walau demikian, bagi para petani harus menerima penderitaan itu, karena setiap hari harus turun ke sungai, untuk mengambil air, guna mengairi ladang dan sawahnya, agar tanaman padi dan palawijanya bertumbuh subur. Tanpa mengetahui dampak positive dan negativenya pada kesehatan manusia yang menkonsumsi padi dan palawijanya hasil panennya.
Pasalnya, masalah pencemaran limbah berbahaya tersebut, terjadi sejak tahun 2006 silam, atau tepatnya selama 12 (Dua belas) tahun dan hingga saat ini belum ada tindakan tegas dari pihak pemerintah terkait, dalam hal ini, baik DLH Kab. Subang, maupun DLH Provinsi Jawa Barat, terhadap pelaku pencemaran limbah B3 itu.
Seperti telah dipaparkan Kepala Desa Tanjungrasa Kidul, Didi Rohadi di kantornya, Jum’at (27/7/18) kepada Perak, saat mengamati sungai di lingkungannya yang nampak sudah tak asli lagi dan ramah lingkungan.
“Pencemaran limbah ini terjadi sejak tahun 2006 silam. Diduga berasal dari pabrik di Purwakarta atau yang ada disekitar sungai ini, karena waktu dulu, sebelum saya menjabat kades, sempat bersama warga melakukan demo ke pabrik di Purwakarta dan hasilnya aneh, bukan pintu saluran limbah dari pabriknya yang ditutup, namun malah pintu sungai yang ditutup, karena setelah demo, sungai jadi surut, bukan limbahnya. hingga petani mengalami kesulitan air. Dari situlah kami tidak melanjutkan protes, khawatir sungai surut dan sulit air kembali seperti dulu,” paparnya meratapi kesengsaraan rakyatnya.
Lanjut Didi, “Dari dulu hingga sekarang, warna sungai menjadi keruh dan hitam, ikan pada mabuk bahkan mati seperti terlihat saat ini. Menimbulkan bau tak sedap hingga mual-mual, serta penyakit gatal-gatal pada kulit jika menyentuh air sungai ini. Untuk dampak kerusakan pada tanaman pertanian belum terlihat. Namun yang dikhawatirkan berdampak pada manusia yang menkonsumsi hasil panen tanamannya, karena belum pernah di cek laboratorium hasil panennya,” ungkapnya.
“Mohon bantuan kepada media (Wartawan) untuk mempublikasikan kasus ini, agar ada perhatian dan tindakan nyata dari DLH, baik dari kabupaten maupun provinsi,” tuturnya Didi berharap.
Menyikapi permasalahan Limbah B3 ini, bahwa sesuai Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan, setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Dan ayat (2), apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Selanjutnya, dalam pasal 103, setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Sementara masih UU tersebut, untuk pejabat berwenang, dalam pasal 112 berbunyi, setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Begitupun bagi pengusahanya, tertuang dalam pasal 114, setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (Hendra)