oleh

Politik dan Perebutan Kekuasaan

Catatan Redaksi Politik dan Perebutan Kekuasaan
“……karena bahasa politik adalah memperebutkan kekuasaan, maka cerminannya adalah bagaimana mempertahankannya…”

Tidak perlu dari kacamata seorang ahli atau pakar lulusan luar negeri, secara gamblang dan fakta, republik ini sebenarnya sudah kacau dan terkesan tak diurus. Yang terbaru dari berita seluruh media dan ramai di medsos adalah ‘ancaman’ seorang dirut PLN yang akan memperkarakan warga jika menyebut kenaikan listrik. Sang dirut beralasan sejatinya kenaikan tarif itu sebagai akibat adanya kebijakan pengalihan subsidi yang tidak tepat sasaran terhadap pelanggan 900 Volt Ampere, sehingga tarifnya saat ini menjadi normal seperti pemakai daya 1.300 VA ke atas.

Dalam keterangannya kepada media, Dirut PLN menceritakan, pada tahun 2004 ada kebijakan dari pemerintah SBY-JK yang menyebutkan bahwa bagi siapapun masyarakat yang meminta dipasang daya 450 VA dan 900 VA maka PLN harus memenuhi. “Jadi dulu siapapun yang minta harus dikasih,” ungkapnya.

Inti dari penjelasannya adalah subsidi listrik untuk 900 VA dicabut, Pertanyaannya, apakah rakyat mengerti hal itu? Rakyat hanya tahu bahwa pembayaran yang lebih dari bulan kemarin dengan pemakaian yang sama adalah sebuah kenaikan. Sama halnya dengan tarif angkot, jika hari ini dia bayar Rp2000 maka jika besok berganti menjadi Rp3000 maka itu adalah kenaikan. Rakyat tidak mau tahu dengan urusan subsidi BBM, sederhananya ongkos naik, harganya berbeda dari yang kemarin.

Ya, rakyat adalah sebuah kesederhanaan. Bahasa ‘rakyat’ adalah sebuah implementasi dari objek perjuangan, ketertindasan, miskin, bodoh dan terbelakang. Untuk itu, seorang Sukarno merasa perlu untuk menasbihkan dirinya menjadi ‘Penyambung Lidah Rakyat’ karena bahasa politik adalah memperebutkan kekuasaan maka cerminannya adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan tersebut setelah mendapatkannya dengan modal yang tidak sedikit. Begitulah sistem politik saat ini, yang hampir dipakai oleh seluruh dunia.

Negara tidak perlu merasa malu dan angkuh jika program dan kebijakannya dikritik oleh rakyatnya sendiri bahkan sampai ancam mengancam segala. Sebelumnya juga tarif STNK dan BPKB mengalami kenaikan. Lucunya dan mungkin untuk pertama kalinya dalam sejarah ‘pernaikan’ di Indonesia, mulai dari pihak Kepolisian, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hingga Presiden sendiri menolak untuk disebut biang keladi naiknya biaya pengurusan administrasi tersebut.

Negara ini entah dibawa kemana oleh orang-orang pintar di sana. Permainan bahasa dan kata-kata untuk berkelit dari kesalahan sering dilakukan oleh mereka yang katanya digaji oleh rakyat. Yang paling segar saat ini adalah penghapusan pelajaran agama dari sekolah. Pemerintah beralasan pelajaran agama tidaklah dihapus tapi dipindahkan ke ekstrakurikuler seperti madrasah.

“Sekolah lima hari tidak sepenuhnya berada di sekolah. Siswa hanya beberapa jam di dalam kelas dan sisanya di luar kelas,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR di Jakarta, Selasa (13/06/2017).

Sekolah, menurut dia, bisa memberikan pendidikan agama dengan mengajak siswa ke rumah ibadah atau mendatangkan guru madrasah ke sekolah. Kalau murid sudah mendapat pendidikan agama di luar kelas, menurut dia, maka pelajaran agama di dalam kelas tidak diperlukan lagi.

Wacana tersebut pun ramai dikritisi oleh para ahli dan masyarakat tentunya. Tidak berapa lama, esoknya, Rabu (14/6/2017) Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat (Ka BKLM), Ari Santoso, dalam siaran persnya membantah wacana tersebut.

“Upaya untuk meniadakan pendidikan agama itu tidak ada di dalam agenda reformasi sekolah sesuai arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,” ucapnya. Dia menambahkan justru pendidikan keagamaan yang selama ini dirasa kurang dalam jam pelajaran pendidikan agama akan semakin diperkuat melalui kegiatan ekstrakurikuler.

Permainan bahasa politik khas rezim lucu-lucuan ini juga terjadi saat wartawan Perak berhasil mendapatkan fakta di lapangan tentang persoalan ‘Debt Collector’ yang bertugas untuk menagih tagihan BPJS. Menurut Andi bagian keuangan BPJS Kota Cimahi, saat dikonfirmasi menolak  istilah Debt Collector, bahasanya hanya tim penagihan yang bersifat mengingatkan saja dan tidak memaksa. Lucu bukan.

Dan lebih lucunya lagi, dari semua kelucuan ini, rakyat tidak bisa berbuat banyak, hanya bisa nyinyir dan teriak-teriak di medsos. Ya…keanehan demokrasi di Indonesia membuat rakyat hanya berkuasa di ‘Medsos’ yang kemarin sempat menjadi media utama penggerak jutaaan umat untuk datang ke Monas mengikuti Aksi Bela Islam. Di medsos rakyat bertransformasi menjadi sebutan Netizen atau Warganet.

Untuk membendung ‘kekuasaan rakyat’ ini maka lahirlah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dengan modal ujaran kebencian, provokasi, menghasut, perbuatan tidak menyenangkan maka antar warga bisa saja saling melapor. Adapun batasannya kabur alias tidak jelas, apa itu perbuatan tidak menyenangkan, apa itu menghasut? Apakah menjadi sebuah perbuatan yang tidak menyenangkan bila seseorang menceritakan sebuah kebenaran?

Saya tidak habis fikir kalau besok-besok kaum gay ramai-ramai melaporkan seseorang yang membenci mereka. Jika itu memang terjadi atau bahkan sepertinya sudah terjadi untuk kasus yang lain, maka alangkah baiknya kita mempersiapkan diri untuk menegakkan kebenaran di bumi Indonesia ini. Hmmm, apakah ini ajakan provokasi? menghasut? ujaran kebencian…bla..blaa..blaa…aaahhh.

(Rendra KH)