oleh

Soal Pembubaran FPI, Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis; “Pernyataan Menteri dan Presiden sekalipun bukan hukum. Kecuali di Negara Otoriter”

JAKARTA, (PERAKNEW).- Pemerintah telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditanda tangani enam Kementerian dan Lembaga, yakni Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, Menteri Komunikasi dan Infromatika, Jhony G Plate, Kapolri, Jenderal Idham Azis, Jaksa Agung, ST Burhanuddin, Kepala BNPT, Boy Rafli Amar, serta Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly atas pembubaran Ormas Front Pembela Islam (FPI).

Pemerintah menganggap FPI sudah bubar sejak 20 Juni 2019, karena Surat Keterangan Terdaftar (SKT) ormas tersebut, sudah habis dan tidak diperpanjang. Dengan keputusan itu, FPI tidak boleh lagi melakukan kegiatan.

Pemerintah meminta masyarakat tak ikut dalam kegiatan yang menggunakan simbol FPI. Masyarakat juga diminta melaporkan kegiatan yang mengatasnamakan dan memakai simbol FPI.

Atas hal itu pula, seperti dikutip Media Kompas, Polisi melarang pengurus Front Pembela Islam (FPI) menggelar konferensi pers terkait pembubaran ormas tersebut.

Kapolres Metro Jakarta Pusat, Kombes Heru Novianto menegaskan, FPI tak boleh melakukan kegiatan apa pun setelah dibubarkan, “Konferensi pers tidak boleh, karena mereka (FPI) sudah dilarang melakukan kegiatan lagi,” kata Heru saat mendatangi markas FPI di Jalan Petamburan III, Jakarta Pusat, Rabu (30/12/2020).

Lanjut Heru, “Kalau atas nama pribadi silakan, atas nama FPI tidak boleh,” tambah dia.

Berdasarkan agenda yang diterima wartawan, Sekretaris FPI Munarman sedianya akan menggelar jumpa pers di Markas FPI, Petamburan, pukul 16.15 WIB.

Namun, pada pukul 16.10 WIB, aparat gabungan TNI-Polri sudah lebih dulu datang ke markas FPI.

Heru menyebutkan, kedatangan aparat gabungan ini untuk memastikan FPI tak melakukan kegiatan apa pun lagi setelah dibubarkan.

Petugas TNI-Polri mencopot sejumlah atribut yang masih terpasang di markas FPI.

Petugas juga menangkap sejumlah orang di sekitar markas FPI yang tak bisa menunjukkan kartu tanda identitas mereka.

Wamenkum HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, “Meminta kepada masyarakat untuk tidak terpengaruh dan terlibat dalam kegiatan penggunaan simbol dan atribut FPI,” katanya di Jakarta, Rabu, 30 Desember 2020, seperti dikutip dari YouTube Kemenko Polhukam RI.

Lanjutnya, “Untuk melaporkan kepada aparat penegak hukum penggunaan simbol dan atribut FPI,” ujarnya.

Hiariej menambahkan, kementerian dan lembaga yang melakukan keputusan bersama ini untuk melakukan koordinasi dan mengambil langkah-langkah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, “Keputusan bersama ini mulai berlaku pada tanggal yang ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada 30 Desember 2020,” kata dia.

Sama halnya dengan keterangan Menko Polhukam, Mahfud MD, bahwa pembubaran dan pelarangan FPI dibuatkan dalam keputusan bersama enam pejabat tertinggi di kementerian dan lembaga, yakni Mendagri, Menko Polhukam, Menkominfo, Jaksa Agung, Kapolri dan Kepala BNPT, “Pemerintah melarang aktivitas FPI dan akan menghentikan setiap kegiatan yang dilakukan FPI karena FPI tidak lagi mempunyai legal standing baik sebagai ormas maupun sebagai organisasi biasa,” kata Mahfud MD.

Lebih tegas lagi, Pengamat Hukum Tata Negara, Margarito Kamis mengatakan, bahwa pernyataan menteri bukanlah hukum, “Pernyataan dari seorang menteri bukan hukum, pernyataan dari Presiden sekalipun bukan hukum. Kecuali di negara otoriter, apa yang keluar dari mulut pejabat itu hukum. Di negara demokrasi tidak, di sistem hukum kita tidak, pernyataan itu bukan hukum,” tutur Margarito melalui sambungan telepon, Rabu (30/12) seperti dilansir REPUBLIKA.

Apalagi, FPI sudah tidak lagi memperpanjang SKT di Kementerian Dalam Negeri sejak Juni 2019. Artinya, kata Margarito, tidak ada dasar bagi pemerintah melakukan pembubaran itu, “Kan dia tidak mendaftar, mau bubarkan bagaimana, syarat pembubaran kan mencabutnya dari register, kalau dia nggak ada dalam register apa yang mau dicabut,” kata dia.

Lanjutnya, “Secara hukum formil (FPI) sudah dianggap tidak ada, bahwa mereka ada ya tetap sebagai organisasi, hanya saja dia tidak terdaftar di Kemendagri. Tidak mendaftar sama sekali, tidak berarti bahwa orang tidak bisa berserikat,” ujarnya.

Karena itu, menurut Margarito, FPI masih tetap bisa berkumpul. Sedangkan mengenai pembubaran yang pastinya akan dilakukan pemerintah dalam setiap kegiatan FPI, menurutnya, adalah hal yang pasti terjadi juga, terutama di masa pandemi, “Urusan bubar membubarkan, kan bisa terjadi setiap saat. Kumpul-kumpul di pandemi ini bisa dibubarkan karena alasan pandemi. Kalau besok FPI mengubah nama menjadi Front Pembela Indonesia, FPI juga kan. Tidak ada masalah,” ucapnya.

Terakhir, Margarito menambahkan, eksistensi sebuah organisasi masyarakat tidak ditentukan oleh daftar dan tidak daftar, tetapi oleh pengakuan masyarakat. Sehingga, meskipun FPI tidak mendaftar, tetap tidak bisa disebut sebagai organisasi ilegal, “Tidak (ilegal) juga. Kalau mereka besok mau mengganti nama front pembela Indonesia, FPI juga, tidak ada yang salah,” ucapnya.

Masih kata Margarito, “Mendaftar itu agar dari segi administrasi pemerintah bisa bekerja sama dengan mereka, dengan organisasi-organisasi itu,” ucapnya.

Sementara itu, dikutip Suara Riau.id, Ketua Perhimpunan Alumni (PA) 212 Provinsi Riau, Ustad Ade Hasibuan, menyebut pihaknya belum mengetahui kabar pelarangan Front Pembela Islam (FPI).

Menurut Ade hingga kini pihaknya belum memperoleh informasi pasti sehubungan pembubaran FPI, “Saya belum dapat informasi pasti. Kalau saya, harus dapat informasi resmi secara organisasi. Misalnya dari FPI pusat. Kalau FPI bubar atau bagaimana, saya kira kita berjuang bukan karena FPI-nya,” ungkap mantan Ketua FPI Riau itu kepada SuaraRiau.id, Rabu (30/12/2020).

Ade menambahkan, bila nanti FPI dibubarkan, hal tersebut bukan akhir dari perjuangan umat. Hanya saja alasan pembubaran FPI dengan dalih organisasi terlarang tidak tepat, “Apa dasarnya menyebut organisasi terlarang. Kalau misalnya saat bencana, FPI mungkin lebih terdepan dibandingkan kelompok yang lain. Saya juga bingung dengan organisasi terlarang, kita bukan PKI,” tutupnya.

Seperti ramai diberitakan, FPI dibubarkan oleh Menkopolhukam, Mahfud MD. Adapun dasar FPI dibubarkan merujuk putusan MK 82/PUU112013 tertanggal 23 Desember tahun 2014, “Pemerintah melarang aktivitas FPI dan akan menghentikan setiap kegiatan yang dilakukan FPI,” ujar Mahfud MD dalam konferensi pers di Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Rabu (30/12/2020).

Adapun sorotan terhadap FPI menguat beberapa bulan belakangan, terutama sejak kepulangan Habib Riziek Sihab (HRS) pada 10 November 2020 dari Arab Saudi.

Setelahnya aktivitas HRS dan FPI menuai sorotan pemerintah lantaran dianggap abai terhadap kesehatan masyarakat dikala pandemi Covid-19.

Namun, ditengah isu kesehatan tersebut, pada Senin (7/12/2020) terjadi penembakan yang berujung kematian 6 laskar FPI. Kasus tersebut berujung pemeriksaan Kapolda Metro Jaya oleh Komnas HAM.

Dilansir Bisnis.com,  Pakar hukum tata negara, Refly Harun mengingatkan pemerintah untuk tidak membubarkan organisasi masyarakat (ormas), termasuk Front Pembela Islam (FPI), karena perilaku oknum dalam organisasi tersebut.

Pernyataan ini disampaikannya dalam akun YouTube Refly Harun berjudul “Front Persatuan Islam Tidak Akan Daftarkan Diri!! Buang-buang Waktu!!” diunggah pada Kamis (31/12/2020), “Kita harus bisa membedakan antara oknum dan organisasi. Jangan sampai kemudian ada beberapa oknum di organisasi tersebut melakukan pelanggaran hukum walaupun jumlahnya banyak, tapi kemudian tiba-tiba organisasinya yang dibubarkan,” ungkap Refly seperti dikutip Bisnis, Kamis (31/12/2020).

Pakar hukum ini pun kemudian membandingkan dengan tindakan korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum anggota partai politik.

Pasalnya, pemerintah hanya menghukum oknum yang korupsi ini bukan malah membubarkan partai politik tersebut, “Sama saja dengan tuntutan soal korupsi. Coba lah hitung, kira-kira berapa kader partai politik di Indonesia ini melakukan tindak pidana korupsi. Maka akan ketahuan banyak sekali, itu jumlahnya bisa ratusan, tetapi kan kita tidak pernah bicara mengenai pembubaran partai politik tersebut,” terang Refly.

Refly kemudian menjelaskan bahwa korupsi dari sisi hukum merupakan tindak pidana. Sementara itu, untuk deklarasi mendukung sesuatu yang biasa diungkapkan ormas-ormas merupakan lahan yang masih bisa diperdebatkan secara hukum.

Pasalnya, belum ada putusan pengadilan yang menyatakan bahwa hal tersebut adalah salah. Sedangkan, katanya, korupsi sudah ada putusan pengadilan dan sudah ada vonis, “Kita bisa mengatakan, bahwa dia koruptor itu ketika sudah ada vonis pengadilan. Sementara kalau belum ya kita bisa mengatakan terdakwam terduga, atau mereka yang sedang dituntut di pengadilan,” jelas Refly.

Selain itu, Tagar ‘TetapTegakWalauTanganTerikat’ dan ‘FPITerlarang’ pun ramai dibicarakan warganet di Twitter.

Salah satu netizen yang kontra dengan keputusan pemerintah adalah politikus Gerindra, Fadli Zon. Menurutnya, keputusan melarang FPI membunuh demokrasi dan mencerminkan rezim otoriter.

Sementara itu, netizen lain tetap mendukung keberadaan organisasi yang dipimpin oleh Rizieq Shihab tersebut serta menyayangkan sikap culas pemerintah.

Di sisi lain, beberapa netizen mendukung pengumuman pembubaran FPI yang diumumkan Menkopolhukam, Mahfud MD tersebut.

Pemerintah melarang semua kegiatan organisasi Front Pembela Islam (FPI) di seluruh wilayah hukum Indonesia. Tak hanya kegiatan, simbol dan lambang organisasi besutan Rizieq Shihab tersebut juga dilarang digunakan. (Red/Net)

 

 

Berita Lainnya