oleh

KPK Terancam Lumpuh Lewat RUU KUHP

-KPK-582 views

JAKARTA, (PERAKNEW).- Gagal memangkas kewenangan KPK lewat revisi UU KPK, DPR nampaknya belum menyerah. Kini, DPR diam-diam kembali berusaha melemahkan KPK lewat Revisi Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dan Revisi Kitab Hukum Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP).

“Draf RUU KUHAP dan KUHP ini bermasalah mulai dari proses pembuatan, sistematika penulisan, dan yang paling penting, isi dan kewenangan-kewenangan yang terdapat di dalamnya ,” ujar Tama Satrya Langkun dalam konferensi pers yang digelar Selasa (1/10) di kantor ICW, Jakarta. 

Menurut informasi dari sumber di DPR, dua RUU ini memang sengaja dikebut untuk selesai akhir Oktober ini. Padahal, RUU KUHP memuat 766 pasal dan RUU KUHAP memuat 285 pasal, sehingga total ada 1.051 pasal yang harus dibahas. “Seribu pasal mau dikebut sebulan, bagaimana caranya? Pasal santet satu saja nggak selesai-selesai,” seloroh Asep Iwan Iriawan, akademisi dan mantan hakim.  

Tama menegaskan, “Dengan pembahasan ngebut seperti ini, hasilnya tidak mungkin sesuai harapan kita. Apalagi semangatnya kodifikasi (disatukan—red).” Hal ini dikonfirmasi Asep. “Kodifikasinya menunjukkan kontradiksi. Kalau ini memang resmi diundang-undangkan, UU Tipikor dan UU KPK hanya bisa bertahan tiga tahun, setelah itu tidak ada lagi. Karena dikodifikasi ke sini. Unsur pidananya jadi lebih ringan. Jika UU spesialis ini bertentangan dengan RUU-RUU ini, maka nanti dirujuk ke sini. Ya mati ‘kan. Kami mengkhawatirkan bahwa semangat mereka lebih ke pelemahan,” ujar Asep prihatin. 

Walau saat ini sudah ada regulasi tindak pidana korupsi (Tipikor) yang diatur dalam UU No 31 Tahun 1999 dan UU no 20 Tahun 2001, para penyusun RUU KUHP tetap memasukkan delik pidana tindak pidana korupsi dalam revisi regulasi tersebut. Ketentuan mengenai tindak pidana korupsi diatur dalam Buku II tentang Tindak Pidana khususnya Bab XXXII tentang Tindak Pidana Korupsi.

Rancangan UU KUHP baru memang menetapkan ketentuan peralihan bahwa UU di luar ini termasuk UU Tipikor diberikan waktu transisi selama 3 tahun untuk menyesuaikan. Artinya, upaya pemberantasan korupsi oleh KPK dan penegak hukum lain dipastikan akan mengalami kemunduran. Apalagi, proses pembahasan kedua RUU terkesan senyap dan diduga untuk menghindari kritik dan perhatian publik.  

Asep mencontohkan, “Di UU Tipikor yang saat ini berlaku, ada 31 jenis korupsi. Di rancangan RUU KUHP, cuma ada 14 pasal. Apakah dengan 14 pasal ini, bisa meng-cover UU untuk tindak pidana korupsi? Dengan ketentuan ini, malah jadi lebih mundur, untuk proses menjerakan pelaku korupsi. Contoh lain lagi, KPK punya kewenangan terhadap kejahatan pencucian uang. Di sini tidak dibahas,” tegas Asep.      

Melihat aspek pemidanaannya, hukuman pidana dalam RUU KUHP lebih rendah daripada UU Tipikor yang saat ini berlaku. Emerson meragukan semangat DPR dalam membahas dua RUU ini. “Berkaca dari praktek-praktek sebelumnya, Komisi III DPR tidak menyambut kehadiran KPK. Ketika mereka gagal melemahkan lewat Revisi UU KPK, mereka cari  peluang, sekarang lewat KUHP dan KUHAP ini.” 

Walau begitu, Emerson mengakui bahwa soal KUHAP memang serius. “Tapi untuk  saat ini, jangan buru-buru mengesahkan KUHAP karena masih banyak yang perlu direvisi. Lagipula, kami khawatir DPR tidak akan bahas serius, dengan target selesai Oktober. Ini bisa offside,” ia mengingatkan.

Menurut Emerson, isi revisi UU ini menjadi peluang pelemahan KPK. “Pembuat UU nampaknya ingin KPK jadi Komisi Pencegahan Korupsi, karena aspek penindakannya hilang. Penyadapan dan penuntutannya, bisa dibilang tidak boleh menuntut, kalau hakim komisaris tidak mengizinkan.” 

Ditambah lagi, langkah DPR buru-buru mengesahkan RUU KUHAP dan RUU KUHP yang dalam sejumlah ketentuannya mengandung upaya pelemahan atau “pembunuhan” KPK yang patut dicurigai. “Sudah ada 65 politisi Senayan yang telah diproses KPK, beberapa diantaranya telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan menjalani pidana sebagai koruptor,” tukas Emerson. “Langkah penyidikan KPK dianggap merusak sumber pendanaan individu politisi atau partai politik untuk Pemilu 2014,” sambungnya.

Sengaja atau tidak, RUU KUHAP terkesan meniadakan KPK dan Pengadilan Khusus Tipikor. Ini dapat dilihat dari tidak adanya penyebutan lembaga lain diluar Kejaksaan, Kepolisian, dan Pengadilan (Negeri, Tinggi dan Mahkamah Agung).  “Tanpa penyebutan secara khusus, jika disahkan, regulasi ini dapat menimbulkan polemik atau multitafsir dikemudian hari,” kata Emerson. 

RUU KUHAP juga jauh dari semangat pemberantasan korupsi dan dapat dinilai malah menguntungkan koruptor. “Pasal 240 RUU KUHAP menyebutkan putusan bebas tidak dapat dikasasi ke Mahkamah Agung. Kemudian, Pasal 250 RUU KUHAP menyebutkan Putusan Mahkamah Agung mengenai pemidanaanm tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi.” jelas Emerson. RUU KUHAP juga tidak mengakomodir ketentuan apabila pelaku kejahatan atau korupsi adalah korporasi/perusahaan.

RUU KUHAP juga hanya berfokus soal kejaksaan dan pengadilan. “Ia tidak menyebutkan KPK dan pengadilan tipikor. Sengaja atau tidak, ada peniadaan pengadilan tipikor dan KPK dalam KUHAP. Bahasanya selalu Pengadilan Negeri (PN),” kata Emerson. RUU KUHAP juga tidak menyebutkan tentang apakah KPK bisa melakukan kasasi demi kepentingan umum. “Pengadilan yang sifatnya khusus, tidak diatur di sini. Apakah pengadilan tipikor masih berwenang?” tanya Emerson. 

Secara subtansial, terdapat 9 ketentuan dalam RUU KUHAP yang berpotensi “membunuh” KPK dan upaya pemberantasan korupsi. Antara lain:

Pasal

Inti

Dampak

Pasal 3 ayat 2

Ketentuan dalam UU ini berlaku juga terhadap tindak pidana yang diatur dalam UU di luar KUHP, kecuali undang-undang tersebut menentukan lain.

Ketentuan ini bisa meniadakan hukum acara khusus dalam penanganan kasus korupsi yang saat ini digunakan KPK.

Pasal 44

Penuntut umum dapat mengajukan suatu perkara kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan untuk diputus layak atau tidak layak untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan.

Penuntutan kasus korupsi yang ditangani KPK dapat dihentikan oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan.

Pasal 58

Persetujuan penahanan pada tahap penyidikan yang melebihi 5 x 24 (lima kali dua puluh empat)

KPK dapat dianggap tidak memiliki kewenangan.  Di sini, hanya disebutkan kepala kejaksaan negeri dalam hal penahanan dilakukan oleh kejaksaan negeri; kepala kejaksaan tinggi dalam hal penahanan dilakukan oleh kejaksaan tinggi; atau Direktur Penuntutan Kejaksaan Agung dalam hal penahanan dilakukan oleh Kejaksaan Agung.

Pasal 67

Penangguhan Penahanan yang diajukan oleh tersangka atau terdakwa

Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat menangguhkan penahanan yang dilakukan oleh KPK.

Pasal 75

Penyitaan harus mendapat izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan

Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat menolak memberikan persetujuan penyitaan, barang yang disita harus segera dikembalikan kepada pemilik.

Pasal 83

Penyadapan pembicaraan harus mendapat izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan

Penyadapan pembicaraan hanya dapat dilakukan apabila mendapat persetujuan dari Hakim.

Pasal 84

Dalam keadaan mendesak, penyidik dapat menyadap tanpa surat izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan

Jika Hakim Pemeriksa Pendahuluan tidak memberi persetujuan penyadapan, maka penyadapan KPK dihentikan.

Pasal 240

Terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali putusan bebas.

Kasus korupsi yang diajukan oleh KPK, jika divonis bebas ditingkat pertama atau banding, maka tidak dapat dikasasi.

Pasal 250

Putusan Mahkamah Agung mengenai pemidanaan tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi.

Kasus korupsi yang diajukan oleh KPK jika divonis berat ditingkat pertama atau banding, maka dapat dipastikan divonis lebih rendah jika dikasasi.

Tabel 1. Poin-poin pelemahan KPK dalam RUU KUHAP 

Hakim Komisaris atau Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) juga diberikan kekuatan luar biasa oleh RUU KUHAP.  HPP berwenang menentukan lanjut tidaknya penuntutan dan pentyitaan dalam kasus korupsi.

“Kalau kita lihat pasal 3 ayat 2, ini menghilangkan hukum acara khusus dalam penanganan kasus korupsi yang saat ini digunakan KPK. Padahal, KPK bisa membuka rekening tanpa izin pengadilan, bahkan di pengadilan tipikor. Durasi KPK menangani kasus korupsi, bisa diukur dengan RUU KUHAP ini,” terang Emerson. 

“Di pasal 44, Penuntut Umum dapat mengajukan perkara pada hakim. Betul, KPK tidak punya kewenangan untuk menghentikan penyidikan, tapi ketentuan di KUHAP ini ada kewajiban jaksa untuk minta persetujuan hakim komisaris lebih dulu sebelum memasukkan perkara. Ini bisa jadi blunder,” Emerson mengingatkan.

“Jangan-jangan, semangat KUHAP ini penyidikan penuntutan kepada Kejagung, karena KPK tidak disinggung sama sekali di Pasal 58,” Emerson mempertanyakan. Karena, dalam RUU KUHAP, KPK tidak dibahas. Padahal, KPK punya kewenangan penyidikan dan penuntutan. 

Kemudian, Pasal 67 RUU KUHAP membahas penangguhan penahanan dengan jaminan orang atau uang. Menurut Emerson, jika hakim di kemudian hari menyetujui penangguhan penahanan, ini akan buruk untuk penanganan kasus korupsi. “Penyitaan dapat izin hakim pemeriksa pendahuluan – mungkin ini memang benar. Tapi, di RUU KUHAP ini, HPP dapat menolak memberikan persetujuan penyitaan. Artinya, barang-barang sitaan harus dikembalikan kepada pemilik,” kata Emerson.

Klausul ini berbahaya. Emerson mencontohkan, “Misalnya kita mau memeriksa Kepala MA, atau Hakim yang menangani Sujono Timan. Jadi agak sulit karena konflik kepentingan. Walaupun ada klausul tambahan 8a tentang keadaan memaksa, tetap saja dua hari setelah penyadapan, harus izin HPP dulu. Dan HPP punya kewenangan untuk menolak penyadapan oleh penegak hukum, dalam hal ini, KPK.” 

Selanjutnya, Pasal 240  punya hubungan kuat dengan KPK. “Putusan bebas tidak bisa dikasasi. Kalau ketentuan ini diberlakukan, akan banyak kasus dengan vonis bebas, karena tidak boleh dikasasi. Ini akan jadi bahaya,” lanjut Emerson, “Putusan MA juga tidak boleh lebih berat dari Pengadilan Tinggi. Padahal, kalau mau memberi efek jera, kalau makin tinggi proses banding, hukuman jadi makin berat. Tapi dengan adanya ketentuan ini, kalau sudah 10 tahun, ya paling tidak kasasi, jadi turun. Ini jauh dari semangat pemberantasan korupsi, dan malah menguntungkan koruptor.”

RUU KUHAP juga memberikan kewenangan luar biasa bagi Hakim Pemeriksa Pendahuluan (Hakim Komisaris) untuk lanjut atau tidaknya penuntutan, penyitaan dan penyadapan dalam suatu proses pidana (termasuk kasus korupsi). Hakim Komisaris juga berwenang menangguhkan penahanan tersangka atau terdakwa dengan jaminan uang atau orang. 

Asep berpendapat bahwa istilah HPP ini multitafsir dan kewenangannya terlalu luas. “Lembaga praperadilan sudah cukup, tinggal memperbaiki kekurangannya.”

“Pada pasal 116, HPP diangkat dan diberhentikan presiden. Bayangkan, HPP diangkat oleh presiden,” ujar Asep. “Bayangkan berapa ribu hakim pengawasan SK-nya harus ke presiden. Itu baru administrasinya. Apalagi, ini urusan yudikatif. Bisa dibilang ini intervensi kekuasaan kehakiman, sangat fatal. Kalau misalnya nanti presidennya dari parpol tertentu dan parpolnya korup, bagaimana? Apa HPP-nya disuruh menghentikan layak tidaknya perkara?” tukas Asep agak keras.

Emerson menambahkan, “Kalau hakim-hakimnya dewa atau malaikat, mungkin kita percaya. Tapi dengan hakim-hakim sekarang, dengan rekam jejak diragukan, sebagian buruk, malah bisa jadi bumerang. Misalnya KPK mau menyadap, lalu hakim komisaris bilang ‘Anda tidak punya kewenangan menyadap’. Bagaimana? Atau KPK menangani kasus Hambalang dan Century. Setelah UU disahkan, lalu misalnya tidak boleh dibawa ke penuntutan, maka KPK tidak boleh melanjutkan.” 

Sistematika penulisan dan pembuatan RUU juga tak luput jadi soal. Tama mencontohkan, “Misalnya di Bab 12, soal pemanggilan dan dakwaan. Pada bab dimaksud, hanya disebutkan pemanggilan, tidak ada diterangkan soal dakwaan.”

ICW menyampaikan dua rekomendasi. “Pertama, DPR harus segera menghentikan proses pembahasan RUU KUHAP dan RUU KUHAP. Pemerintah juga harus menarik naskah dua RUU ini untuk diperbaiki, karena tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi dan eksistensi KPK,” ucap Emerson. 

“Regulasi seharusnya lahir untuk memberikan dukungan bagi upaya pemberantasan korupsi dan mendukung optimalisasi lembaga pemberantasan korupsi,” tutupnya.

 

sumber: antikorupsi.org

Berita Lainnya