oleh

Gerakan Subuh Berjamaah Solusi Keselamatan Negeri

Gerakan Subuh Berjamaah Solusi Keselamatan Negeri

Menyerobot tanah desa, menjual tanah negara, mengkorup dana desa, mengawini istri orang dan puluhan pidana lainnya adalah beberapa contoh perbuatan yang kerap dilakukan oleh kepala desa di Subang dan mungkin juga terjadi di seluruh desa di Indonesia. Seorang rekan wartawan pun bertanya kepada saya, ‘Kok bisa berani gitu ya?”

Kesempatan. Ya, tagline dari bang Napi mungkin jawaban yang sesuai untuk menggambarkan keberanian para oknum desa dengan kejahatan pidananya: “Kejahatan terjadi bukan hanya karena niat pelakunya tapi juga karena ada kesempatan”.

Darimana dan bagaimana kesempatan itu ada dan datang kepada kepala desa?

Tentu semuanya masih ingat dengan kasus-kasus toko modern ilegal yang ramai kemarin bahkan hingga sekarang? Sebagian besar dari kasus tersebut adalah perijinan yang dikeluarkan oleh kades yang notabene ternyata itu hanyalah surat rekomendasi saja. Jalan panjang untuk mendapat ijin pendirian tersebut tidak ditempuh oleh para pengusaha. Berbekal surat rekomendasi, berdirilah bangunan itu, beroperasilah mereka. Pemda, DPMPT? Dimana kuasa mereka? Gigit jari. Setelah jari digigit dan telinga dan wajah mereka dimerahkan oleh para demonstran baru mereka bersuara. Kalimat mainstream yang memuakkan kembali kita dengar: “Saya harap, saya menghimbau, saya meminta, bla, bla, bla.

Untuk menunjang kesempatan itu tidak menjadi kesempitan, maka BPD yang berfungsi sebagai pengontrol kerja kades ditunjuk oleh orang-orangnya kades. Pada umumnya orang-orang ini adalah bagian dari tim sukses saat pemilihan kades. Pun begitu juga saat pengontrol dari pemerintahan datang seperti dari Irda. Mereka datang, cek laporan, melihat berkas tanpa ke lapangan untuk mengecek kebenarannya. Ada permainan di bawah mejakah? Kejaksaan juga sama, kalau kerugian itu kurang dari anggaran ongkos penyelidikan mereka, hal itu tak akan dilanjutin. Kepolisian? Halaah sama saja. “Penanganan kasus yang terindikasi mengarah korupsi, memang butuh waktu,” begitu jawaban Polisi saat menyelidiki kasus penjualan tanah negara di Desa Parapatan yang juga sedang diliput oleh Perak.

Dari uraian di atas, sepertinya memang terjadi sintax eror dalam sistem kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Tidak ada yang mengontrol mereka semua, dari Kades, Irda, DPRD, Polres sampai Bupati bahkan Pers dan LSM sekalipun, tidak ada yang mengontrol tugas-tugas mereka. Mata rantai ini yang disebut dengan Top Down System.

Akibatnya, sejak keran kebebasan dan liberal dibuka maka Top Down System seperti demokrasi memasuki wilayah yang sebenarnya tidak layak untuk disentuh yaitu wilayah pedesaan. Padahal kearifan budaya dan adat sangat kental jika kita memasuki pedesaan. Maka dengan masuknya demokrasi di wilayah desa, maka kepentingan, menang kalah, dan pun ikut masuk di dalamnya. Masyarakat jadi terpecah belah dengan sistem pemilihan demokrasi one man one vote.

Tapi, yang menjadi strategis dari hal semua itu adalah masyarakat menjadi antipati terhadap politik. Karena buah dari demokrasi seperti Pilkades menyebabkan pecah belah dan adu kepentingan maka masyarakat tidak lagi ingin berpolitik.

Masyarakat sudah salah kaprah terhadap musyawarah. Kita selalu berfikir bahwa musyawarah adalah sebuah cara. Orang ramai mengatakan kalau demokrasi juga musyawarah. Salah besar. Jika demokrasi yang digambarkan seperti hari ini dengan menusuk-nusuk gambar orang dan adu bacot di sosmed antar pendukung maka itu bukan musyawarah.

Musyawarah adalah perintah Allah dalam Alquran, bahkan musyawarah pun menjadi 1 surat penuh Asy-Syura dan 1 ayat di Al Imran 159. Sedangkan demokrasi adalah perintah elite Yunani melihat kekuasaan Raja absolut yang tak tergantikan. Jauh sebelum Islam datang. Jadi, sebenarnya, Musyawarah itu adalah penyempurna Demokrasi.

Sinyal itu diberikan saat perumusan Pancasila di sidang BPUPKI, kurang lebihnya, Sukarno mengatakan bahwa demokrasi kita bukanlah demokrasi ala barat tapi domokrasi yang menekankan kemanusian. Sukarno memberi nama demokrasi itu adalah Sosio Demokrasi dan berpuluh-puluh tahun kemudian Suharto menyebutnya dengan Demokrasi Pancasila. Para pendahulu kita terdahulu hendak menghaluskan demokrasi barat itu dengan menempelkannya pada sesuatu yang hakikat seperti Sosio dan Pancasila.

Akibat demokrasi barat yang tidak berprikemanusian itu dengan pemilihan tusuk-tusuk gambar seperti ini maka kades-kades itu masuk dalam jebakan kekuasaan. Naluri kekuasaan adalah penindas dan curang. Para kades itu merasa sudah terpilih oleh masyarakat dan sudah mengeluarkan modal untuk itu. Setelah terpilih yang lahir hanyalah ketamakan dan rasa was-was yang berlebih akan harta dan kedudukan. Maka sebisa mungkin dinasti pun dibangun, hanya keluarga dan hubungan kekerabatan yang bisa duduk di lingkaran kekuasaan.

Saat ini, sudah waktunya sekarang, kita harus menunjukkan identitas kita sebagai orang Indonesia yang ingin Berdaulat dalam politik, Berdikari di Bidang Ekonomi, Berkepribadian dalam kebudayaan. Pancasila adalah kunci pemikiran dan sistem di Indonesia dengan Bottom Up System.

Untuk mengawalinya, Gerakan Shalat Subuh Berjamaah bisa menjadi pengetuk pintu langit agar mencurahkan hidayah dan petunjukNya kepada para penguasa, pejabat dan rakyat Indonesia. Insya Allah, Aaamiin