oleh

Edan! Selama 12 Tahun Tanjungrasa Kidul Dicemari Limbah B3, Pemda-Pemprov Jabar Belum Tindak Tegas Pelakunya

Edan!
Selama 12 Tahun Tanjungrasa Kidul Dicemari Limbah B3,
Pemda-Pemprov Jabar Belum Tindak Tegas Pelakunya

PATOKBEUSI-SUBANG, (PERAKNEW).- Edan. Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) berbentuk cair cemari lingkungan melalui Saluran Sungai Irigasi (SSI), mulai dari SSI Cilamaya hingga ke SSI Desa Tanjungrasa Kidul, Kecamatan Patokbeusi, Kabupaten Subang dan sekitarnya.
Nyatanya, dampak dari pencemaran limbah B3 itu, sungai menjadi keruh berwarna hitam dan makhluk hidup seperti ikan dan lainnya yang ada di sungai, mengalami keracunan, bahkan banyak mengalami kematian.
Tidak hanya itu, juga menimbulkan bau yang tak sedap, hingga mengakibatkan seluruh warga lingkungan setempat mengeluhkan mual-mual, serta menderita penyakit gatal-gatal, ketika bersentuhan dengan air sungai tersebut.
Walau demikian, bagi para petani harus menerima penderitaan itu, karena setiap hari harus turun ke sungai, untuk mengambil air, guna mengairi ladang dan sawahnya, agar tanaman padi dan palawijanya bertumbuh subur. Tanpa mengetahui dampak positive dan negativenya pada kesehatan manusia yang menkonsumsi padi dan palawijanya hasil panennya.
Pasalnya, masalah pencemaran limbah berbahaya tersebut, terjadi sejak tahun 2006 silam, atau tepatnya selama 12 (Dua belas) tahun dan hingga saat ini belum ada tindakan tegas dari pihak pemerintah terkait, dalam hal ini, baik Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kab. Subang, maupun DLH Provinsi Jawa Barat, terhadap pelaku pencemaran limbah B3 itu.
Demikian dipaparkan Kepala Desa Tanjungrasa Kidul, Didi Rohadi di kantornya, Jum’at (27/7/18) kepada Perak, saat mengamati sungai di lingkungannya yang nampak sudah tak asli lagi dan ramah lingkungan.
Meratapi penderitaan masyarakatnya Didi mengatakan, “Pencemaran limbah ini terjadi sejak tahun 2006 silam. Diduga berasal dari pabrik yang ada di Purwakarta atau yang ada disekitar sungai ini, karena waktu dulu, sebelum saya menjabat kades, sempat bersama warga disini melakukan demo ke pabrik yang ada di Purwakarta dan hasilnya aneh, bukan pintu saluran limbah dari pabriknya yang ditutup, namun malah pintu sungai yang ditutup, karena setelah demo, kenapa sungai jadi surut, bukan limbahnya. hingga petani mengalami kesulitan air. Dari situlah kami tidak melanjutkan protes, khawatir sungai surut dan sulit air kembali seperti dulu,” paparnya.
Lanjut Didi mengungkapkan, “Dari dulu hingga sekarang, dampak pencemaran limbah ini, diantaranya merubah warna sungai menjadi keruh dan hitam, mengakibatkan ikan pada mabuk bahkan mati seperti terlihat saat ini. Menimbulkan bau tak sedap hingga mual-mual, serta gatal-gatal pada kulit jika menyentuh air sungai ini. Untuk dampak kerusakan pada tanaman pertanian belum terlihat. Namun yang dikhawatirkan berdampak pada manusia yang menkonsumsi hasil panen tanamannya, karena belum pernah di cek laboratorium hasil panennya,” ungkapnya.
Maka dari itu, menurut Didi, “Mohon bantuan kepada media (Wartawan) untuk mempublikasikan kasus ini, agar ada perhatian dan tindakan nyata dari DLH, baik dari kabupaten maupun provinsi,” tuturnya berharap, sambil mengakhiri wawancara dengan Perak.
Padahal, sesuai apa yang ditetapkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pasal 98 ayat (1) menyebutkan, setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Dan ayat (2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Selanjutnya, pada pasal 103 Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Bahkan, sesuai dalam pasal 112 berbunyi, bahwa setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dengan demikian, tertuang pada pasal 114, bahwa setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (Hendra)

Berita Lainnya